AKTIVITAS EKONOMI DENGAN NORMA, HUKUM ISLAM, DAN SYARIAH


Beberapa ahli ekonomi memberikan penegasan bahwa ruang lingkup dari ekonomi Islam adalah masyarakat muslim dan negara muslim itu sendiri.Ruang lingkup ekonomi Islam yang tampaknya menjadi administrasi kekurangan sumber-sumber daya manusia dipandang dari konsepsi etik kesejahteraan dalam Islam. Oleh karena itu, ekonomi Islam tidak hanya mengenai sebab-sebab material kesejahteraan, tetapi juga mengenai hal-hal non material yang tunduk kepada larangan Islam tentang konsumsi,produksi[1]dan distribusi.Dalam perspektif ilmu hukum modern, muamalah pada dasarnya dapat disejajarkan dengan hukum kekayaan yang meliputi hukum kebendaan dan hukum perikatan (perjanjian).Hukum kebendaan mencakup hukum tentang harta kekayaan dan tentang hak, baik hak atas kebendaan material, maupun immaterial.[2]
Sedangkan ruang lingkup fiqh muamalahterbagi dua yaitu ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab dan Kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.Ruang lingkup yang bersifat madiyah itu mencakup segala aspek kegiatan ekonomi yaitu:Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah), Gadai (rahn), Jaminan/ tanggungan (kafalah/dhaman), Pemindahan utang (hiwalah), Jatuh bangkit (tafjis), Batas bertindak (al-hajru), Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah), Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah), Upah (ujral al-amah), Gugatan (asy-syuf’ah), Sayembara (al-ji’alah), Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah),Pemberian (al-hibbah), Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu).[3]
beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnya. Sumber-sumber dalil hukum islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Dalil yang berbentuk naqli terdiri dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan yang bersumber dari dalil aqli terdiri dari Al-Ijma’, Al-Qiyas, Al-Istihsan, Al-Maslahah al- Mursalah, Al-Ihtisab, Al-Urf, Syar’un Man Qoblana, Qaul Shabi.[4] Antara kedua bentuk dalil tersebut mempunyai hubungan yang sagat erat, Karena dalil naqli membutuhkan kreasi akal untuk memahaminya dan untuk memetik hukum dari padanya. Dalil naqli adalah pokok yang menjadi landasan dalil-dalil aqli. Dan dalil aqli itu tertumpu atau terpulang kepada Al-Qur’an karena kebolehan menggunakannya mendapat pembenaran dalam Al-Qur’an.[5]
Muttafaq ‘alaihi (متفق عليه ), hal ini dibagi menjadi beberapa kaedah dalam pembahasannya. ‘Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad’’. Maksud kaedah terdebut adalah kaedah yang telah disepakati sebelumnya tidak dapat diganggu gugat atas ijtihad yang baru, karena kedudukan masing- masing ijtihad sama, karena itu masing-masing ijtihad tidak ada yang lebih istimewa, sehingga masing- masing tidak dapat membatalkan. ‘‘Apabila antara yang halal dan haram berkumpul maka dimenangkan yang haram”.Pada kaedah ini disebutkan adanya perioritas bagi mendahulukan yang haram, ini berarti bahwa apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai suatu masalah ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan maka dua dalil itu dipilih yang meng haramkan karena itu lebih hati- hati (ikhtiyath). ‘’Apabila yang mencegah dan yang mengharusakn berlawanan, maka didahulukan yang mencegah’’.Misalnya ada seorang mati syahid dalam keadan junub, orang junub diserukan untuk mandi sedangkan orang mati syahid dilarang dimandikan, maka menurut kaedah diatas orang tersebut tidak perlu dimandikan, bahkan diharamkan jika air untuk memandikan terlalu sedikit atau kondisi dalam keadaan darurat.[6]
Mukhtalaf ‘alihi (مختلف عليه). Kaedah-kaedah yang dipersilisihkan ini, tidak dapat dikuatkan salah satunya, karena perselisihannya dalam furu’. Atau masing-masing punya dalil yang tidak dapat dikesampingkan. Seperti, “yang dianggap itu apakah siqhat lafaz atau maknanya’’. Ada beberapa perbedaan pendapat. Diantara furu’ kaedah ini adalah:Apabila orang berkata: saya beli baju dari kamu dengan syarat-syarat demikian, dan uangnya sekian, kemudian penjualnya mengatakan: ya jadi’’maka menurut lafaz dianggap jual beli, dan menurut maknanya adalah salam.Apabila seseorang memberi dengan syarat memberi imbalan apakah itu termasuk jual beli berdasarkan makna, ataukah hibah berdasarkan lafaz.maka dalam hal ini yang lebih sah adalah jual beli. Apabila orang berkata : saya jual barang ini kepadamu, dengan tidak menyebutkan harganya.apabila dilihat dari maknanya maka berarti hibah, tetapi dari segi lafaz berarti jual beli, dan demikian itu adalah jual beli yang fasit. ‘‘barang yang dipinjam untuk gadai, apakah yang lebih umum pada barang itu berlaku segi dloman(borg/ jaminan)ataukah segi pinjaman”. Ada dua pendapat:Diantara furu’ yang berkenaan dengan kaedah ini adalah.Sesudah barang pinjaman untuk borg gadai dipegang oleh pemberi gadai, apakah orang yang mempunyai barang meminta kembali barang tersebut.Kalau barang tersebut dianggap sebagai barang pinjaman maka boleh diminta kembali tetapi kalau sebagi barang jaminan, tidak dapat kembali inilah yang lebih sah.[7]
Aktivitas ekonomi kontemporer yang bertentangan dengan syari’ah. Banyak dari para aktivis dalam perekonomian yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam melakukan transaksi jual beli, gadai, dan lain sebagainya. Ada berbagai contoh akivitas-aktivitas yang bertentangan dengan hukum syari’ah. Monopoli adalah salah satu permasalahan secara konvensional, pasar monopoli akan terjadi jika di dalam pasar konsumen hanya terdiri dari satu produsen atau penjual.[8]Tadlis adalah salah satu bentuk penipuan dalam berdagang, dan ini merupakan bentuk ketidakjujuran seorang pedagang dalam menjalankan usahanya.Tadlis ini bisa terjadi dalam empat hal, yakni, kuantitas (jumlah), kualitas (mutu), harga, dan waktu penyerahan.Dan ini adalah permasalahan yang sama dan juga diharamkan dalam agama Islam, karena agama Islam sangat mengajarkan kejujuran.Aktivitas lainnya seperti, Maysir adalah konsep yang sangat berkaitan dengan mudarat, negative result, atau bahaya (hazard). Perjudian adalah suatu permainan yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban pihak lain akibat permainan tersebut.. Dan maisir adalah setiap tindakan atau permainan yang bersifat untung-untungan atau spekulatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan materi seperti membawa dampak terjadinya praktik kepemilikan harta secara bathil.[9]
Kesimpulannya bahwa islam telah merancang hukum-hukum secara detail, mana yang boleh kita lakukan dan mana yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Banyak dari hukum-hukum yang dapat kita pelajari dari fiqh ataupun ushul fiqh. Terkadang masih banyak orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang walaupun sebenarnya dia mengetahui hukumnya. Maka sebagai orang islam kita harus benar-benar memehami, mana-mana saja yang boleh kita lakukan dan mana yang wajib kita hindari. Dan kita pun yang semestinya mengingatkan saudara-saudara kita, ketika mereka melakukan kesalahan. Karena sebenarnya Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dengan melakukan apa yang Allah SWT perintahkan dan mana yang harus dihindari. Seperti halnya kita harus menghindari monopoli, tadlis, maysir, ataupun segala sesuatu yang yang menyimpang dariproses kegiatan ekonomi dalam islam.







[1]http://syariahcooperation.blogspot.com/2012/04/pengertian-ruang-lingkup-dan-tujuan.html (akses tanggal 23 Maret 2014).
[2] Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. 4 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.9; R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 3 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 144-7.
[3]Mardani, Fiqh ekonomi Syariah, (Jakarta,: Rajawali Pers, 2013), hlm. 3.
[4] Dr. Mardani,  Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 100-101
[5]Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahannya dan Flejsebilitasnya, (Jakarta : Sinar Grafika, Cetakan ketiga, Juni 2007), halaman 4
[6]Mukhlis Usman,Kaedah-kaedah istinbat hukum islam, , cet 1 hal 144
[7]Abdul Mujib,Kaedah-kaedah ilmu fiqh, , cet 2.hal 102.
[8]  Sadono Sukirno, , Mikroekonomi Teori Pengantar, (Jakarta:rajawali press, ed.3, 2013), hal. 266
[9]Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta:Rajawali pers, Ed. Revisi, cet.2, 2013), hal 227

Komentar

Postingan Populer